Image via Wikipedia
… tulisan ini sekedar curahan hati, timbul dari rasa sayang akan keberadaan aset negeri ini yang dinilai kurang dikelola secara maksimal…
Hari Minggu kemarin, tanggal 02 Januari 2011, hari kedua di tahun yang baru ini, saya dengan rombongan kantor berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) setelah sekian tahun tidak pernah lagi dikunjungi.
Kenapa TMII? Dalam benak kami, TMII memiliki banyak nilai plus yang bisa ditawarkan sebagai alternatif atraksi yang patut dikunjungi dalam rangka liburan anak-anak.
Target utama adalah Snowbay. Ya, teluk salju yang panas sekali, jauh dari nama ‘Snow’. Hiasan-hiasan yang ada sangat artifisial (harusnya artifiuntung ya?). Dengan tiket rombongan yang diurus travel, kamipun tidak perlu mengantri, hanya menunggu beberapa menit maka rombongan bisa masuk.
Singkat kata, kami menikmati kegiatan air di Snowbay dengan berbagai atraksinya, dilanjutkan dengan keliling menggunakan ‘Monorail’ (disebut monorail, kok ‘rel’-nya ada tiga ya? hi hi..). Keinginan anak ketiga kami untuk naik kereta gantung pupus sudah mengingat antrian sedemikian panjang, yang tentunya menyita waktu dan kemungkinan dapat mengganggu schedule keseluruhan. Pusat kerajinan menjadi pilihan lokasi kunjungan yang kami nikmati bersama sekeluarga, karena banyak sekali mainan anak-anak dan kerajinan yang dijajakan dengan harga murah, harga yang sangat wajar… highly recommended lah..
Dalam diskusi setelah acara selesai, saya dan kawan-kawan merasa ada sesuatu yang ‘mengganggu’ dan mengganggu dalam pikiran ini. Bagaimana tidak, TMII yang sudah menjadi aset bangsa, dan dikenal sampai ke luar negeri, kondisinya sekarang kok seperti tidak tertata dan terrencana dengan baik ya? Kesan yang saya tangkap, terlihat kesannya pengelolaannya kurang terpadu.
Ini dapat terlihat salahsatunya dari ‘perahu angsa’, yang area geraknya sangat dibatasi, dah sempat terlihat ada tulisan, “1 putaran” weleh, dengan area sempit begitu, rebutan dengan perahu lain, cuma 1 putaran pula? mendingan gak jadi deh… Hal lain yang memperkuat dugaan saya adalah hampir di semua anjungan, area yang masih ‘kosong’ disulap menjadi ‘toko’, sehingga dominasi ‘berjualan’ mie instan, kopi, minuman instan, menjadi dominan sekali dibanding anjungan itu sendiri, yang tentunya justru harus menjadi pusat perhatian di lokasi tersebut.
Okelah kalau tujuannya menambah income bagi pengelolaan, tapi seharusnya (at least menurut pendapat pribadi) bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih elegan, tidak terlalu terlihat ‘dagang makanan’.
Kalau melihat peta-nya, venue yang dibuat di awal-awal terlihat direncanakan dalam skala kawasan, mengikuti suatu master plan yang utuh, relihat dari pengelompokan fungsinya, sirkulasinya, kedekatan antara anjungan dengan ‘peta’ lokasi di danau, dll, sehingga dengan mudah pengunjung beranjak dari satu anjungan ke anjungan lain. Tapi dibandingkan dengan venue/fungsi-fungsi baru yang ditambahkan kemudian, terkesan dipaksakan, dicari lahan yang cukup, disitulah ‘benda’ tersebut diletakkan. Alhasil, kesulitan berorientasi dan atau mencari lokasi tertentu sering terjadi.
Yang juga terasa mengganggu adalah masalah parkir di Snowbay. Ketika hujan turun, tidaklah mudah untuk dapat naik bis yang harus parkir jauh, atau harus berlari di sela-sela kendaraan yang diparkir persis di depan entrance utama. Mestinya ada space tertentu yang cukup untuk pengunjung tetap leluasa bergerak, atau ada jalur sirkulasi tertentu dari lobby ke arah drop-off mobil.
Ya, semoga ke depan akan menjadi lebih baik, sehingga anak cucu kita dengan mudah bisa melihat bedanya rumah adat Sumatera Barat dengan Sumatera Selatan, dll…
-6.863371
107.601986